{Fanfiction – 2011 } X,Y,Z…any else? (The First)

Kali ini Note : Dibuat tahun 2011- Mungkin sedikit lebih baik dari sebelumnya – Intensitas merinding sedikit berkurang

Februari, 2007
Aku berlari secepat yang aku bisa, mengacuhkan titik titik kecil hujan yang berusaha menembus jaket anti air yang kupakai – sementara tangan kananku menarik seorang laki-laki yang umurnya lebih muda dariku empat tahun dan dengan patuh ia mengikuti apa yang kulakukan.

Kami sampai di halte bus 10 menit yang lalu, tapi belum ada satupun bis yang datang. Adikku, Song Ju duduk bersebelahan denganku menggerakkan kakinya tidak sabar, aku makin panik dan berpikir keras apa yang harus kulakukan sekarang.

“Kita naik taksi saja Song Ju-ya. Ppali kajja.” Ide itu langsung muncul ke kepalaku begitu saja. Aku sudah siap berdiri, namun Song Ju masih duduk di tempatnya.

“Ya! Apa yang kau lakukan? Ppaliwa!” Ia masih saja duduk di tempatnya.

Lalu ia mendesah “Percuma Noona, lihat jam berapa ini?” Aku sontak melihat arloji di tangan kiriku, jarum kecil menunjukkan angka 9 dan jarum besar menunjukkan angka 5. Aku menghela napas dalam-dalam, menyesali apa yang terjadi semalam sehingga membuatku dan Song Ju terlambat.

Kemarin aku meminjam kaset zombie di tempat penyewaan DVD. Entah apa yang membuatku begitu ingin menontonnya. Karena aku tidak berani menontonnya sendirian, jadilah aku mengajak Song Ju untuk menontonnya bersamaku. Tidak lama setelah itu appa pulang. Dengan antusias, ia pun langsung bergabung dengan aku dan Song Ju. Kami melahap semua DVD itu sampai habis hingga ketiduran di sofa. Pagi harinya sudah pasti kami terlambat. Appa mengatakan ada hal mendesak dikantornya. Akhirnya aku dan Song Ju dengan terpaksa harus berangkat sendiri.

@~@~@~@~@~@
Kami memutuskan untuk pergi ke supermarket untuk sarapan dan membicarakan apa yang harus dilakukan setelah ini.

“Gomapta Nonna! Membuatku terlambat hari ini.” Aku ingin memukulnya, tetapi aku sedang sibuk memasukkan segulung ramyeon ke dalam mulutku.

Setelah menguyah cepat cepat, “Song Ju-ya, Perlukah aku menelpon sekolahmu untuk meminta izin?” Song Ju hanya mengangkat bahu.

Aku berpikir sejenak. Sepertinya aku harus bertanggung jawab karena membuatnya membolos sekolah. Kataku dalam hati.
Lalu aku mengeluarkan ponselku di dalam tas dan segera mencari nomor sekolah Song Ju yang sengaja kusimpan jika terjadi apa-apa.

“Yoboseyo.” Jawab seorang pria yang suaranya kurang lebih sama seperti suara ayahku.

“Anyyeong haseyo. Saya Park Song Na, saya wali dari Park Song Ju kelas 1-9.”

“Aah… Ne, ada hal apa?”

“Jweisonghamnida. Hari ini Song Ju tidak dapat masuk sekolah, kami harus pergi ke pemakaman neneknya.” Aku tidak tahu harus menciptakan alasan apa. Biarlah, hanya sekali berbohong ini juga demi Song Ju.

“Gwenchanayo. Kalau begitu, saya turut berduka cita.”

“Gamsahamnida. Annyeong haseyo”

“Ne…Annyeong haseyo”

Song Ju menatapku. “Noona, kau pembohong yang ulung.” Katanya takjub.

“Ini pertama dan terakhir kalinya aku berbohong demi kau! Awas kalau kau berani membolos dibelakangku!” Ancamku keji.

“Jangan khawatir! Hanya bolos sehari tidak akan menurunkan peringkatku!” Ujarnya bangga.

Aku mendengus. “Kau tidak perlu memamerkannya, aku sudah tahu!”

“Kau tidak kuliah Noona?” Aku tersedak. Kuliah? Aish aku bahkan lupa harus kuliah hari ini.

“Song Ju-ya, jangan pergi kemana-mana! Pulanglah kerumah. Noona pergi dulu.” Aku meninggalkan supermarket dengan tergesa-gesa menuju halte bus terdekat. Tidak seperti pagi tadi, sekarang busnya langsung datang seketika saat aku sudah sampai di halte bus.

Sekarang jam 10, sudah pasti aku ketinggalan kelas pertama. Aku merutuki diriku sendiri di bus dan tanpa sadar aku membenturkan kepalaku ke jendela bus.

@~@~@~@~@~@

Inha University, Teather Art

Walaupun aku tahu bahwa kemungkinan besar kelas pertama sudah selesai, tapi hatiku berkata aku harus kesana. Sekedar hanya mengecek, siapa tahu dosennya tidak masuk atau kelasnya masih berlangsung. Setelah sampai disana, hatiku mencelos. Kelas hampir kosong, hanya ada satu pria dibarisan depan sedang sibuk mencatat. Aku melihat ke papan tulis, dan terlihat beberapa catatan yang sepertinya baru dipelajari tadi.

Mungkin ada baiknya aku mengikuti apa yang dilakukan pria itu. Aku menggeser bangku yang berada dibarisan ketiga, suara gesekannya menimbulkan suara. Pria itu langsung terduduk tegak dan melihat kearahku.

“Jweisonghamnida.” Kataku kikuk. Dia tidak mengatakan apa-apa dan kembali sibuk mencatat lagi. Aku duduk dengan hati-hati berusaha tidak menciptakan suara lagi. Namun apa mau dikata, sepatuku yang basah membuat aku tergelincir dan jatuh kelantai. Sungguh memalukan! Melakukan kesalahan dua kali dan membuat keributan.

Dengan gerakan cepat, aku bangun dari lantai. Kemudian aku mendengar suara tulang berderak, dan pada saat itu juga aku mengingatkan diriku untuk tidak berteriak. Rasanya sangat sakit, benar-benar sakit.

Baru kusadari, pria itu memerhatikan aku. Wajahnya tidak terlalu jelas terlihat karena dia memakai topi dan syal yang hampir menutupi seluruh wajahnya, tapi aku bisa melihat jelas matanya. “Gwenchanayo?” Suaranya membuyarkan pengamatanku padanya.

“Gwenchanayo, jweisonghamnida.” Aku membungkuk rendah padanya. Dia berbalik lagi persis seperti yang dilakukannya tadi. Tapi aku bersumpah sebelum berbalik, aku melihat ia menyipitkan matanya menandakan bahwa dia sedang tersenyum. Mungkin.

Aku menyibukkan diri untuk mencatat bahan-bahan pelajaranku yang tertinggal tadi. Ternyata ada tugas, untung saja dituliskan disana. Sekarang aku harus mencari partner untuk tugas ini, siapa yang harus kucari? Tugas ini hanya terdiri dari dua orang, teman-temanku pasti sudah punya partnernya masing-masing. Mungkin perlu kerja keras untuk mencarinya.

“Permisi.” Suara pria itu lagi.

Aku mendongak. “Ya, ada apa?” Tanyaku berusaha rileks. Aku selalu merasa canggung bila bertemu dengan orang yang baru kukenal. Song Ju dan appa selalu menggodaku tentang hal ini, kadang jika aku sedang tidak nyaman ataupun malu, sifat kikuk dan canggungku segera keluar. Aku yakin, di dunia bukan hanya aku yang berkelakuan seperti ini. Tapi sifat ini juga tidak mudah untuk menghilangkannya, jadi aku hanya harus bersabar.

“Tugas itu,” Dia berhenti sejenak menunjuk papan tulis. “Kau sudah mendapatkan partner?” Tanyanya to the point.

“Belum.” Jawabku singkat.

Dia mengusap tangannya dua kali. “Kalau begitu, bisakah kita menjadi satu tim?” Terima kasih Tuhan karena Kau tidak membiarkanku untuk berkerja keras mencari, kataku dalam hati. Aku langsung mengangguk setuju.

@~@~@~@~@~@

Salah satu tindakan illegal yang sering kulakukan adalah membawa makanan ringan ke perpustakaan. Kebiasaan ini sudah ada semenjak aku berada di SMA, rasanya sangat aneh jika membaca ataupun mengerjakan sesuatu tidak di selingi dengan makanan.

Kali ini aku menyeludupkan dua kotak Ppeppero cokelat ke dalam tasku. Aku juga selalu membawa air mineral dari rumah jika pergi, menurutku itu lebih hemat dan praktis. Jika kehausan tidak perlu repot mencari supermarket, terlebih lagi itu juga bisa lebih menghemat uangku.

Hari ini aku akan mengerjakan tugas bersama pria kemarin. Baru kusadari, aku belum mengetahui namanya!
Aku duduk tepat dibawah penghangat ruangan. Ini adalah tempat favoritku di perpustakaan setelah kurang lebih empat bulan kuliah disini. Segera aku membuka laptop dan memainkan game yang baru aku download semalam ditemani dengan alunan piano Yiruma serta berbatang-batang Ppeppero.

Sudah satu jam berlalu, namun pria itu tak datang juga. Aku melihat kesekelilingku berharap melihatnya duduk dikursi lain. Tapi aku tidak melihat satupun sosok yang sama seperti kemarin. Baiklah, sebaiknya aku mengerjakannya sendirian.

Perlu waktu tiga jam untuk menyelesaikan tugas ini, memang perlu waktu lama tapi- menurutku tidak terlalu sulit. Aku meregangkan otot-ototku, menutup laptop dan merapihkan hal-hal lain

Aku harus mengembalikan buku yang tadi sempat ku pakai untuk menjadi bahan tugasku. Mungkin perlu waktu sedikit lama mengembalikannya, mengingat banyaknya buku yang kuambil dari rak tadi.

“Permisi.” Bisik seorang pria. Suaranya mirip dengan pria kemarin. Aku berbalik untuk mencari jawaban, tebakanku benar. Pria itu kini sedang berdiri satu meter dariku.

“Maaf aku terlambat.” Katanya. Aku berbalik membelakanginya. Tiba-tiba ia ada didepanku, menghalangi jalan.

“Jweisonghamnida.” Dia membungkuk rendah kepadaku.

Aku mendengus dalam hati. ”Maaf sekali, tugasnya telah aku selesaikan beberapa menit yang lalu. Berhubung aku mengerjakannya sendirian, maka aku hanya mencantumkan namaku disana. ” Aku kembali membelakanginya dan pergi menjauh, bergegas mengembalikan buku ke raknya lalu keluar dari perpustakaan.

@~@~@~@~@~@

1 Week Later…
“Tugas kelompok yang kemarin lusa kalian kumpulkan sudah mendapatkan nilai. Silahkan mengeceknya di e-mail kalian masing-masing. Tapi ada dua dari kalian yang belum mendapatkan nilai.” Kang Gyosunim berhenti sejenak dan melihat ke arahku. Saat dia melihat ke arahku, aku yakin ada sesuatu yang tidak beres. “Park Song Nahaksaeng dan Kim Ryeowook haksaeng, kalian tidak mendapatkan nilai karena tugas kalian tidak memenuhi kriteria.” Para wanita yang duduk dibelakangku malah tertawa cekikikan, aku hanya bisa menghela nafas pasrah dan menunduk malu.

Aku mengejar Kang Gyosunim yang sudah keluar kelas lebih dahulu. Ternyata pria waktu itu mengejarnya juga dan dia lebih dulu dariku.

“Kau harus mengerjakannya berdua” aku mendengar samar-samar suara Kang Gyosunim. Lalu aku melihat pria itu membungkuk padanya dan Kang Gyosunim pergi. Aku segera menyusul Kang Gyosunim.

“Anyyeong haseyo.” Sapaku padanya.

“Kau pasti ingin membicarakan tugas itu kan?” Selanya sebelum aku bertanya.

“Ne Gyosunim.” Jawabku lemah.

“Ini tugas kelompok, bukan individual. Aku yakin kau tahu maksudku. Kumpulkanlah besok jika ingin mendapat nilai.” Kemudian ia meninggalkanku. Aku sudah mengerti, sudah sangat mengerti bahwa aku harus mengerjakan tugasnya dengan dan bersama pria itu.

Aku kembali ke kelas, untuk mengambil tas yang aku tinggal tadi saat mengejar Kang Gyosunim. Aku berjalan pelan-pelan dan melihat pria itu di depan pintu ruangan kelas dan di tangannya ada tasku. Pria ini benar-benar!

Dengan kasar aku menyambar tasku dari tangannya. Aku menatapnya tajam, tapi dia hanya tersenyum tipis padaku.
“Ternyata kita memang ditakdirkan untuuk menjadi satu tim.” Katanya senang. Aku mengeryit ngeri, berharap dia bukan pembunuh berdarah dingin ataupun orang dengan kepribadian ganda. Aku hanya bisa menghela napas pasrah berkali-kali. Meratapi nasibku.

To Be Continue…*If Posibble*

Tinggalkan komentar